Tuesday, October 26, 2010

Aku dan Sahabatku: Karena kami tidak mau mati lagi

Beberapa tahun yang lalu, aku melihat satu sosok putih yang menyalakan kilauan lembut laksana bulan pada peraduan puncaknya. Di kala itu, sosok ini sangat menarik perhatian aku. Putihnya yang menyejukkan mata itu mengalihkan semua pikiranku, membungkan logika ku. Dan aku hanya bertanya tanpa mencari jawabannya, atau pun menanyakan langsung penyebabnya pada sosok putih itu.
Aku hanya memperhatikan dari jauh, meneliti apakah yang diperbuat sosok ini.

Tampak dari kejauhan, sosok putih ini begitu riangnya, melompat kesana kemari, bernyanyi-nyanyi lagu merdu, memuja-muja, dan menurut fikiranku, sosok ini dibawah pengaruh sesuatu yang aku pun tidak tahu itu. Yah, ini cuma fikiranku, karena cuma itu yang aku punya.

Aku tetap dengan jarak yang sama untuk memperhatikan sosok ini. Aku juga menyukai profesi baru ku ini tanpa disadari. Kadang aku senyum-senyum sendiri karena melihat tingkahnya. Ya, tingkahnya itu tidak masuk di akal. Aku pun bingung melihatnya, tapi satu yang menajadi kesimpulannya dari tingkahnya yang tidak tercerna olehku, tiap tindakannya sarat akan keindahan dan kedamaian.

haripun berlalu, aku tetap memperhatikan dari jauh. Sudah menjadi ketertarikan tersendiri untuk memperhatikannya. Dan sosok putih ini tetap dengan cahaya putih lembutnya, yang kadang dengan intensitas kecerlangan yang berbeda-beda.Sebuah pemandangan yang mengejutkan juga bagi ku. Malah suatu saat aku melihat, putihnya sedikit berbeda, waktu itu putihnya kemerah-merahan, dan ada lagi lain waktu putihnya kebiru-biruan. Tapi tetap dengan background putihnya itu.

Tahun pun berlalu, aku tetap memperhatikan. Sosok putih sahabatku ini aneh, ada apa gerangan dengan engkau sahabat. Kenapa engkau seperti ini. Aku melihatnya berubah warna, tidak lagi putih. Tidak ada lagi cahaya lembut meneduhkan itu. Sungguh mengerikan melihatnya, dia berwarna pucat kelabu. Oh sahabatku, kenapa engkau seperti ini. tidak sudikah engkau memperlihatkan cahaya lembutmu itu lagi?

Hari berlalu, aku terkulai melihat sahabatku ini dari kejauhan. Oh, ini sungguh menyedihkan bagiku. Tuhan, jika engkau mendengarkan aku dan aku pun yakin engkau pasti mendengarkan. Tolonglah, kembalikan sahabatku lagi.

Aku melihat sosok putih sahabatku ini sudah semakin terpuruk. Dia telah terjatuh ke lantai dingin tempat berpijaknya. Dan semakin hari warnanya pun semakin menggelap.

Aku sudah tidak tahan melihat dia seperti itu. Sungguh mengiris-iris fikiranku. Sungguh menyedihkan. Aku sungguh kasihan melihat dia.

Dia tidak seperti dulu lagi, tidak berlari-lari, bernyanyi-nyanyi dan semua hal yang membuat buntu fikiranku. Sekarang dia terbaring lemah, tatapannya sedingin lantai tempat dia terkulai. Dan warnanya yang semakin menggelap. Sepertinya tidak ada lagi ada harapan bagi dia dan bagiku untuk mendapatkan sosok putih yang dulu. Aku melihat dia berteriak dalam keheningan, membungkam teriaknya sendiri ke dasar lantai. Terisak dalam kebisuan, menelan air mata sendiri ke dalam kegelapan sosoknya. Dan, ya, dia telah semakin pekat.

Saat ini, aku mendapatinya lagi. Setelah beberapa bulan aku tidak menemuinya, aku tidak tahan melihat penderitaannya. aku sungguh mengutuk sesiapa yang membuat sosok putih sahabatku dulu menjadi seperti itu.

Tapi ada yang janggal, sosok putih sahabatku ini tidak seperti dulu. Bewarna putih pucat susu kedelai. Ditambah isakan-isakan tangisnya. Bagai Isakan seorang anak kecil yang tidak mendapatkan permen kesukaannya. Berdiri lunglai di lantai yang sama seperti dulu. Dia rupanya tidak beranjak dari situ.

Aku dengan segala pertanyaan dalam benakku menghampirinya disuatu hari. Sekarang dia sudah tidak menangis lagi. Tetap dengan lunglainya dan warna putih pucat susu kedelai. Aku menghampirinya dengan hati-hati. Menyapanya, dan terjadi perbincangan diantara kami.

Dan beginilah sedikit diantara panjangnya percakapan kami:

Aku: Apakah kau tahu aku siapa?

Sahabatku: Ya, tentu, kau sahabat terbaikku. (dengan senyum damainya)

Aku: lalu kenapa engkau tidak pernah menyapaku? walau hanya dengan mengarahkan pandanganmu padaku dan melambaikan tangan, ataupun hanya sekedar mengarahkan lontaran ingusmu padaku?

Sahabatku: (dengan senyum yang sama) ya, memang kelihatannya aku tidak menyapamu, tapi tanpa kau sadari wahai sahabatku, aku yang memanggil-manggil engkau dari kejauhan, sehingga engkau rela berlama-lama memperhatikan aku dari kejauhan.

Aku: (tersenyum Mendegarkan)
sahabatku: Karena begitulah kita, kau ditakdirkan untuk memperhatikan aku, menimbang-nimbang apa yang akan dan sedang aku lakukan, mencerna dengan segala logika dan pikiran yang kau punya. Mempertaruhkan segala akal pikiran yang kau punya untuk kelangsungan hidupku dan hidupmu. Begitu pula sebaliknya, tanpa kau sadari aku pula yang memberikan masukan untukmu dari setiap lini perasa ku. Aku pula yang menimbang-nimbang secara batin untuk mu. kadang kau begitu tidak mengerti tentang diriku bukan?

Aku: Ya, sempat aku begitu tidak mengerti tingkahmu.

sahabatku: Ya, suatu waktu, aku bisa begitu sukar kau mengerti walaupun kau telah mengerahkan semua nalarmu. karena aku yang merasakan, kau tidak memiliki daya upaya untuk merasakannya, karena kau terdiri dari nalar, logika dan pikiran. Sedangkan aku terhimpun dari perasaan-perasaan yang tidak bisa terjelaskan. Disitulah kadang-kadang kita saling tidak mengerti. Tidak sejalan, walaupun begitu. Akupun juga pernah terkuasai olehmu.

Ternyata sahabatku ini ketika menjadi kelam dan terpuruk memeluk bumi waktu itu. Dikarenakan pikiran-pikiran yang bersumber dari diriku yang mempengaruhinya, kami saling mempengaruhi.
Setelah percakapan panjang kami, baru aku bisa mengerti apa yang membingungkanku selama ini.

Ketika dia menari-nari, menyanyi-nyanyi, dan pancaran cahaya lembut yang teduh dari sosok putihnya, dia sedang mengalami suatu perasaan yang indah. Ketika ada sosok lain yang memalingkan dia dari dunia tempat kami berada. Untuk dapat berdampingan dengan sosok lain itu. Dan sayangnya, itu cuma harapan belaka. Sampai-sampai dia meniadakan perasaan itu hilang, lenyap. Sehingga dia begitu menderita. Dan, ya, perasaan itu lenyap, tapi meninggalkan bekas yang dalam bagi dia. Itulah kenapa sahabtku ini dulu menjadi hitam dan terpuruk meratapi bumi. Dan sempat dia berkata padaku, ketika masa-masa itu, dia tidak mungkin lagi berharap datangnya masa-masa indah itu, perasaan indah itu, cukup dengan kondisinya seperti itu, bagai mati saja, tapi tetap dalam bayang-bayang sosok lain itu.

Ketika kutanyai kenapa dia sekarang putih lagi. Dia menyambut pertanyaanku dengan senyum bahagia. Sahabatku ini bilang, ketika masa-masa "mati" dia dulu, ada sosok baru yang membuat dia bisa melenyapkan secara alamiah bayangan bayangan sosok lain yang dulu. Secara ajaib dia bisa berdiri lagi, padahal aku sudah mengira dia begitu lekat dengan lantai dingin itu. Secara ajaib dia kembali putih, dan merasakan perasaan yang sama seperti dulu kala. Sosok baru inilah penyelamatnya. Sahabtku ini seperti terlahir kembali, terlahir dari abu kematiannya sendiri.

Lalu aku bertanya kenapa dia sekarang tidak seputih dulu. Kenapa malah putih pucat. Dan ternyata, dia sempat begitu putihnya, cahayanya memenuhi ruangan tempat dia berada. Tapi karena goncangan yang kami rasakan. Dia sahabatku ini pucat, cahayanya sedikit melemah, takut. Takut terjadi lagi hal yang sama, kelam dan tak berdaya lagi. Itu juga yang aku takutkan, masa-masa itu pula aku juga merasakan kelam.

Persoalan tentang memerah dan membiru sahabtku dulu juga kami bahas. pada saat itu, warna yang timbul itu dikarenakan sosok sosok lain yang mempengaruhi. Tapi kata sahabatku ini, kalau hanya satu perasaan itu yang tidak bisa dipaksakan. Dia datang dengan sendirinya dan dengan setulusnya. Tidak bisa dipalingkan, jika perasaan itu datang dari sosok yang satu, tidak bisa dipalingkan ke sosok yang berbeda. Makanya, merah dan biru diri sahabatku itu dulu hanya sebatas perasaan yang lain, bukan sampai pada perasaan yang satu itu.

Lalu aku mempertanyakan bagaimana dia kedepannya. Bagaimana kita kedepannya. Sahabatku ini akan mempertahankan kondisinya saat ini. Walaupun pucat tak bertenaga. dia tetap mengeratkan sendi kakinya untuk menopang pergerakan dirinya kedepan. Dia bertahan sekokoh-kokohnya. Apa yang terjadi nanti, semoga sesuai dengan yang kami harapkan. kami berdua takut, jika terjadi sebaliknya. Aku begitu tidak tahan melihat gelapnya sahabatku ini yang diselingi rintihan rintihan kesakitan. Hendaklah sahabatku ini bahagia sebahagia bahagia nya. Tuhan, kabulkanlah doaku ini, untuk sahabat sejatiku.




Sungai Pua
24 Okt 2010
3:10 am

2 comments:

luffynda said...

jarang orang yang bisa jujur sama apa yang dia rasain,,tapi kamu justru sebaliknya,,mengungkapkan kejujuran dengan cara kmau sendiri dan yah..inilah hasilnya. wooow,,aku brasa baca tulisan dari penulis terkenal aja..

hahahha

good job brotha^_^

kluina_ai said...

ibuuuu...ganti langit2 yang di sini...
jebol...

haha...
penulis terkenal apanya...
terlalu berlebihan kamu...

Post a Comment